Pendahuluan
Memprihatinkan! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi penduduk Kabupaten Bandung pasca pemberian obat anti filariasis. Seperti diberitakan beberapa media, 264 warga kabupaten Bandung mengalami keracunan dengan gejala-gejala seperti pusing, muntah-muntah dan kejang-kejang hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat (www.kompas.com, 11/11/2009). Bahkan diduga korban bertambah hingga lebih 800 orang (Kabar Petang TV One, 16/11/2009)
Sebelumnya 2,7 juta warga kabupaten Bandung diwajibkan minum obat cacing anti filariasis secara serentak pada tanggal 10 November 2009 lalu, yang rencananya program ini akan diulang setiap tanggal tersebut hingga lima tahun ke depan. Program tersebut digulirkan pemerintah menyusul adanya temuan bahwa Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah endemis penyakit kaki gajah. Menurut Depkes Kabupaten Bandung, ada 31 kasus di 223 desa pada lima kecamatan di Kabupaten Bandung selama tahun 2007 hingga 2009. Data ini didapat dari hasil survey darah jari, dimana telah ditemukan populasi di atas 1 % yang mengandung larva microfilaria. Dijelaskan pula bahwa larva microfilaria ini disebarkan oleh nyamuk (www.kompas.com, 11/11/2009).
Menurut Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu, kasus kaki gajah di Indonesia sudah mencapai 11.000, dan yang terinfeksi microfilaria diduga lebih banyak lagi. Sehingga dirasa perlu untuk melakukan penanggulangan filariasis dengan metode penanggulangan yang telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) sejak tahun 70-an. (www.republikaonline.com, 13/11/2009). Adapun obat yang direkomendasikan adalah DEC (Diethylcarbamazine) 100 mg, Paracetamol 500 mg dan Albendazole 400 mg. Paracetamol dan Albendazole dilaporkan merupakan obat untuk mengatasi efek samping dari DEC (www.kompas.com, 11/11/2009)
Pencegahan Membawa Bahaya
Sayangnya upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut malah membawa petaka. Delapan orang warga Kabupaten Bandung (sebagian media menyatakan Sembilan orang) dari ratusan korban tadi harus menjemput ajal setelah mengalami keracunan obat (www.liputan6.com, 13/11/2009). Salah satu korban, Apeng, warga Cebek, Kabupaten Bandung, Kamis (12/11) meninggal setelah minum obat tersebut. (www.liputan6.com, 13/11/2009). Demikian juga dengan korban meninggal lainnya, Dani bin Emed, ia meninggal setelah mengkonsumsi obat itu. Ia mual dan muntah, tak berapa lama kemudian meninggal (www.liputan6.com, 14/11/2009).
Pihak pemerintah sendiri –sebagaimana pernyataan Menteri Kesehatan– menyangkal jika kematian sembilan warga tersebut ada sangkut pautnya dengan pemberian obat antifilariasis (www.liputan6.com, 14/11/2009). Hanya saja, Kepala Sub Dinas P2PL DinKes Kabupaten Bandung, Suhardiman mengakui, bahwa sekalipun meninggalnya 9 orang warga tersebut bukan karena minum obat antifilariasis, namun mungkin saja (mereka meninggal) karena punya riwayat kesehatan yang tidak membolehkan minum obat tersebut. (www.republikaonline.com, 13/11/2009).
Bahwa penggunaan obat anti filariasis akan menimbulkan efek samping sebetulnya tampak dari berbagai aturan yang harus diperhatikan dalam penggunaannya. Kepala Sub Dinas Penanggulangan penyakit dan Penyelamatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Jawa Barat, dr Fita Rosemary menyebutkan, untuk mengurangi efek obat itu disarankan agar warga yang sedang sakit tidak meminum obat tersebut sampai sembuh. Meminum obat itu harus setelah makan dan dilakukan pada malam hari, karena pada malam hari itulah cacing mikrofilaria aktif. Obat antifilariasis pun tidak boleh diberikan kepada anak di bawah usia dua tahun atau ibu hamil (www.infoanyar.com, 9/2/2009). Informasi lain menyebutkan, bahwa orang dengan riwayat kesehatan tertentu, seperti penderita hipertensi dan penyakit jantung juga tidak diperbolehkan mengkonsumsi obat tersebut (www.liputan6.com, 13/11/2009] ).
Tentu saja, banyaknya korban tewas dan keracunan pasca pengobatan massal sebagaimana terjadi di Kabupaten Bandung tadi akhirnya memunculkan pertanyaan, mengapa sampai terjadi kecolongan? Apa karena tidak ada sosialisasi atau ada sosialisasi tapi minim?
Beberapa orang warga mengaku bahwa mereka tidak mengetahui efek samping dari obat tersebut. Mereka juga merasa tidak pernah mendapatkan penjelasan apapun perihal adanya efek samping obat tersebut dan aturan-aturan yang terkait dengannya. Menurut salah seorang warga Margahayu, Ny Indri, sosialisasi tentang obat antifilariasis tidak merata. Sosialisasi/informasi tentang efek samping obat baru diberikan jika ada yang bertanya. Jika tidak, petugas tidak memberi informasi apapun (Wawancara pribadi, 16/11/09). Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung juga menguatkan hal tersebut. Ia mengatakan, indikasi itu menunjukkan warga tidak tahu ada efek samping yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi obat antifilariasis (www.myopera.com, 13/11/2009). Tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika petugas melakukan sosialisasi secara maksimal. Sosialisasi yang dimaksud adalah terkait efek samping dan gejalanya serta orang-orang dengan riwayat kesehatan seperti apa yang tidak boleh mengkonsusmsi obat ini. Tentu pula sosialisasi yang dilakukan harus merata, bukan sosialisasi yang minim. Sehingga seluruh warga bisa mendapatkan informasi yang benar dan tidak akan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Pemerintah Harus Melindungi Bukan Memberi Bahaya
Pemerintah, seperti yang digambarkan oleh hadits, ibarat penggembala. Rasulullah SAW. Bersabda: “Seorang imam adalah penggembala dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagai penggembala, ia tentu harus memastikan bahwa gembalaannya, dalam hal ini warganya , dalam keadaan baik, terpenuhi segala kebutuhannya baik terkait dengan sandang, pangan dan papan ataupun terkait pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan, dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya” (HR al-Bukhari, Ibn Majah dan Tirmidzi). Seorang pemimpin, yakni seorang imam harus bertanggung jawab terhadap kondisi warganya, termasuk dalam hal kesehatannya. Kondisi sehat seorang warga diibaratkan adalah bagian dari bahwa ia telah memiliki dunia seisinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan merupakan perkara penting yang senantiasa dijaga oleh semua pihak. Jika terjadi endemi penyakit tertentu, maka negara wajib untuk melakukan sebuah tindakan agar tidak menular kepada warga lainnya. Rasulullah SAW. Bersabda: “Jika kalian mendengar ada penyakit thaun menimpa suatu kampung, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika jika thaun menimpa suatu kampung, sedang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar darinya” (HR.Bukhari Muslim)
Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak boleh melakukan tindakan apapun yang justru membahayakan warganya. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri” (HR Malik). Karenanya, ketika pemerintah memiliki dugaan dan bukti yang kuat -terhadap suatu upaya kesehatan- yang ternyata dapat membawa bahaya (kemudhorotan), maka negara tidak boleh memaksakan tindakan tersebut sekalipun memiliki manfaat. Kalaupun tetap dilakukan, maka pemerintah harus memastikan warga negaranya mengetahui, misalnya efek samping dari suatu obat atau kondisi kesehatan yang seperti apa yang terlarang untuk mengkonsumsi obat tertentu. Dan hal ini hanya akan terjadi jika ada sosialisasi yang maksimal. Tidak cukup juga hanya sebatas sosialisasi, tapi harus disertai dengan pengawasan yang ketat.
Di sisi lain Negara harus mencari alternative upaya kesehatan lain yang tidak mengandung bahaya, agar hal-hal yang diinginkan tidak terjadi. Terkait filariasis, dr. Primal Sudjana, Sp.P.D., K.P.T.I., dari Sub-bagian penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung/FK UNPAD menyatakan, bahwa untuk mencegah penyebaran penyakit kaki gajah sebenarnya ada cara yang lebih mudah, yakni memutus mata rantai penyebaran dengan pengendalian vektornya, yaitu nyamuk. Pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan dengan memberantas sarang nyamuknya. Sedangkan pengobatan massal filariasis yang bertujuan menghilangkan mikrofilaria dari dalam tubuh, sekalipun dianggap efektif, cara ini dapat menimbulkan efek samping dan tidak mudah untuk dilakukan, karena memerlukan waktu yang panjang, yaitu lima tahun dan obat harus dimakan secara bertahap setahun sekali.(Pikiran Rakyat, lembar Geulis, 15/11/2009)
Dari sini dapat dipahami, bahwa upaya untuk mengatasi filariasis, tidak hanya dengan pengkonsumsian obat antifilariasis secara massal, akan tetapi ada cara lain yang lebih aman sekalipun diduga kurang efektif. Tentu saja dalam hal ini, pemerintah harus berpikir keras, dengan mengerahkan segala upaya dan kemampuan yang dimilikinya untuk mencari alternatif cara yang benar-benar efektif dan tidak memberi bahaya pada masyarakat. Memilih yang efektif tapi membawa bahaya tentu bukan tindakan yang bijaksana. Begitupun, pemerintah tidak boleh dengan begitu saja menerima rekomendasi program dari pihak manapun (termasuk WHO sekalipun) sebelum dipastikan program tersebut tidak membahayakan rakyatnya. Bukankah seorang pemimpin, dalam hal ini pemerintah adalah pelindung bagi rakyatnya? Rasulullah SAW. Bersabda: ” Imam adalah laksana tameng”
Saatnya Fokus Pada Akar Masalah
Merebaknya kasus filariasis berikut dampak susulannya seharusnya tidak terjadi jika semua pihak -terutama pemerintah– fokus pada akar masalah, bukan pada cabang. Sebagaimana jenis penyakit endemik lainnya, penyebaran penyakit semacam filariasis ini selalu terkait dengan rendahnya kualitas hidup masyarakat dan lingkungannya. Daya tahan tubuh yang lemah akibat gizi buruk, lingkungan yang tidak sehat, pengetahuan yang minim, akses terhadap fasilitas kesehatan yang rendah, adalah beberapa faktor yang sering disebut-sebut sebagai pendorong muncul dan merebaknya penyakit-penyakit endemik. Dan semua ini terkait dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang mewujudkannya sejatinya menjadi tanggungjawab pemerintah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits nabawiyah tadi.
Daya tahan tubuh yang lemah misalnya, tentu hanya bisa didapat jika konsumsi warga terhadap kebutuhan pangan terpenuhi dengan baik. Konsumsi pangan warga pun tidak akan terpenuhi jika warga kesulitan untuk mendapatkan pangan yang berkualitas; yakni yang halal dan thayyibah. Dalam kondisi di mana harga-harga pangan tidak terjangkau oleh masyarakat, baik akibat distribusi komoditi yang tidak merata atau akibat daya beli masyarakat yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi, tentulah mewujudkan masyarakat berdaya tahan tubuh yang baik ibarat jauh panggang dari api.
Begitupun dengan kualitas lingkungan yang rendah bisa menjadi salah satu faktor resiko bagi berkembangnya berbagai penyakit. Dan ini terkait dengan kebijakan tata lingkungan, sistem drainase, kesadaran masyarakat akan pola hidup yang sehat, kebijakan infokom, yang kesemuanya juga menjadi tanggungjawab pemerintah dalam mewujudkan dan mensosialisasikannya. Sehingga, jika hari ini kita mendapati tata lingkungan dan sistem drainase yang carut marut ditambah dengan kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah akibat informasi yang minim, maka wajar jika berbagai penyakit berikut dengan vektornya dengan mudah berkembang biak, dan berbagai upaya pencegahan dan kuratifpun seolah menjadi sia-sia.
Adapun mengenai akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan, lagi-lagi ini menyangkut political will pemerintah. Seyogyanya, pemerintah membuka lebar akses masyarakat untuk mendapatkan keduanya dengan cara yang murah, mudah dan cepat. Dan Indonesia, punya modal kekayaan yang lebih dari cukup untuk mewujudkannya secara mandiri jika punya kemauan dan tekad yang kuat untuk berbuat semata demi kepentingan rakyat. Sehingga dengan sekolah, masyarakat bisa pintar dan mampu mencerap berbagai informasi, termasuk informasi tentang kesehatan; bagaimana hidup sehat dan menciptakan lingkungan yang sehat. Begitupun dengan kemudahan mengakses fasilitas kesehatan, mereka bisa menjaga dan mengontrol kesehatan mereka secara rutin dan penyebaran penyakit menular semacam filariasispun bisa tercegah dengan sendirinya. Tidak seperti sekarang, Untuk pintar dan sehat seseorang harus kaya, sementara orang miskin dilarang pintar dan sakit. Kalaupun mereka hari ini di iming-iming sekolah dan pengobatan gratis, pada prakteknya mereka harus puas dengan pelayanan alakadarnya. Pendidikan gratis ekivalen dengan kualitas pendidikan gratisan yang faktanya tidak gratis itu. Begitupun dengan pengobatan gratis, yang faktanya juga harus mereka bayar dengan prosedur yang rumit, muka masam sebagian petugas kesehatan dan resiko salah obat. Miris, bukan?
Oleh karenanya, berbicara kasus filariasis dan kasus-kasus wabah penyakit endemis apapun, persoalannya menjadi tidak sederhana. Bahkan berbicara persoalan masyarakat apapun, juga menjadi tidak sederhana; Sistemis dan paradigmatis!. Semuanya menyangkut sistem pengaturan yang digunakan dalam mengurusi urusan rakyat (terkait dengan sistem ekonomi, politik, sosial, hukum, dan lain-lain) apakah menjamin kesejahteraan atau tidak? Juga menyangkut kesadaran pemimpin akan posisinya sebagai penanggungjawab (raa’in) dan tameng (junnah) bagi rakyatnya. Penerapan sistem yang rusak, tentu tak bisa diharapkan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera dengan kualitas hidup yang tinggi. Begitupun keberadaan penguasa yang dzalim, yang tidak memahami tugas sebagai penanggungjawab dan tameng bagi umat, hanya akan membangun hubungan dengan rakyatnya sebagaimana hubungan penjual dan pembeli, tidak mandiri dan mengabdikan diri pada kepentingan asing, yang karenanya akan menjerumuskan rakyat pada kehidupan yang serba sulit.
Sesungguhnya Allah mencela para penguasa yang tak sungguh-sungguh peduli bahkan bertindak dzalim terhadap rakyatnya, sekaligus menjanjikan kehinaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Dan sebaliknya Allah SWT justru menjanjikan bagi imam/penguasa yang adil -yakni yang benar-benar mengurusi warganya dengan sebaik-baiknya– akan memberikan naungan-Nya pada hari akhir di saat tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya. Wujud hakiki keadilan penguasa tersebut adalah dengan mau menerapkan sistem yang menjamin keadilan dan kesejahteraan. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam, karena sistem tersebut berasal dari Dzat Yang Maha Adil, yaitu Allah SWT. Wallahu A’lam.
Oleh: Rina Komara (DPD Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Jawa Barat)
إرسال تعليق