Peran Hutan Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan



  1. Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini penjarahan hutan atau penebangan liar di kawasan hutan makin marak terjadi dimana-mana seakan-akan tidak terkendali. Ancaman kerusakan hutan ini jelas akan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besarnya karena adanya efek domino dari hilangnya hutan, terutama pada kawasan-kawasan yang mempunyai nilai fungsi ekologis dan biodiversitas besar. Badan Planologi Departemen Kehutanan melalui citra satelit menunjukkan luas lahan yang masih berhutan atau yang masih ditutupi pepohonan di Pulau Jawa tahun 1999/2000 hanya tinggal empat persen saja. Kawasan ini sebagian besar merupakan wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Akibat dari kejadian ini tidak saja hilangnya suatu kawasan hutan yang tadinya dapat mendukung kehidupan manusia dalam berbagai aspek misal kebutuhan akan air, oksigen, kenyamanan (iklim mikro), keindahan (wisata), penghasilan (hasil hutan non kayu dan kayu), penyerapan carbon (carbon sink), pangan dan obat-obatan akan tetapi juga hilanglah biodiversity titipan generasi mendatang.
Saat ini di dunia internasional telah berkembang trend baru melalui perdagangan karbon (CO2). Perdagangan karbon diawali dengan disepakatinya Kyoto Protocol bahwa Negara-negara penghasil emisi karbon harus menurunkan tingkat emisinya dengan menerapkan teknologi tinggi dan juga menyalurkan dana kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami misalnya melalui vegetasi (hutan). Indonesia dengan luas hutan tersebar ketiga di dunia, bisa berperan penting untuk mengurangi emisi dunia melalui carbon sink. Hal ini bisa terjadi jika hutan yang ada dijaga kelestariannya dan melakukan penanaman (afforestasi) pada kawasan bukan hutan (degraded land). Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak (degraded forest) dengan cara penghutanan kembali (reforestasi).
Hutan Pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan persebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan non kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan Pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, sudah saatnya dilakukan upaya penghitungan manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan mengetahui berbagai kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya.
2. Peran Hutan Dalam Pengendalian Daur Air
Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam diharapkan mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Peran hutan dalam pengendalian daur air dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Sebagai pengurang atau pembuang cadangan air di bumi melalui proses :
a. Evapotranspirasi
b. Pemakaian air konsumtif untuk pembentukan jaringan tubuh vegetasi.
2. Menambah titik-titik air di atmosfer.
3. Sebagai penghalang untuk sampainya air di bumi melalui proses intersepsi.
4. Sebagai pengurang atau peredam energi kinetik aliran air lewat :
a. Tahanan permukaan dari bagian batang di permukaan
b. Tahanan aliran air permukaan karena adanya seresah di permukaan.
5. Sebagai pendorong ke arah perbaikan kemampuan watak fisik tanah untuk memasukkan air lewat sistem perakaran, penambahan bahan organik ataupun adanya kenaikan kegiatan biologik di dalam tanah.
Semua peran vegetasi tersebut bersifat dinamik yang akan berubah dari musim ke musim maupun dari tahun ke tahun. Dalam keadaan hutan yang telah mantap, perubahan peran hutan mungkin hanya nampak secara musiman, sesuai dengan pola sebaran hujannya.
Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air sebagai air intersepsi. Sampai saat ini intersepsi belum dianggap sebagai faktor penting dalam daur hidrologi. Bagi daerah yang hujannya rendah dan kebutuhan air dipenuhi dengan konsep water harvest maka para pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) harus tetap memperhitungkan besarnya intersepsi karena jumlah air yang hilang sebagai air intersepsi dapat mengurangi jumlah air yang masuk ke suatu kawasan dan akhirnya mempengaruhi neraca air regional. Dengan demikian pemeliharaan hutan yang berupa penjarangan sangat penting dilaksanakan sesuai frekuensi yang telah ditetapkan.
Peran menonjol yang ke dua yang juga sering menjadi sumber penyebab kekawatiran masyarakat adalah evapotranspirasi. Beberapa faktor yang berperanan terhadap besarnya evapotranspirasi antara lain adalah radiasi matahari, suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan ketersediaan air di dalam tanah atau sering disebut kelengasan tanah. Lengas tanah berperanan terhadap terjadinya evapotranspirasiEvapotranspirasi punya pengaruh yang penting terhadap besarnya cadangan air tanah terutama untuk kawasan yang berhujan rendah, lapisan/tebal tanah dangkal dan sifat batuan yang tidak dapat menyimpan air.
Peran ketiga adalah kemampuan mengendalikan tingginya lengas tanah hutan. Tanah mempunyai kemampuan untuk menyimpan air (lengas tanah), karena memiliki rongga-rongga yang dapat diisi dengan udara/cairan atau bersifat porous. Bagian lengas tanah yang tidak dapat dipindahkan dari tanah oleh cara-cara alami yaitu dengan osmosis, gravitasi atau kapasitas simpanan permanen suatu tanah diukur dengan kandungan air tanahnya pada titik layu permanen yaitu pada kandungan air tanah terendah dimana tanaman dapat mengekstrak air dari ruang pori tanah terhadap gaya gravitasinya. Titik layu ini sama bagi semua tanaman pada tanah tertentu (Seyhan, 1977). Pada tingkat kelembaban titik layu ini tanaman tidak mampu lagi menyerap air dari dalam tanah. Jumlah air yang tertampung di daerah perakaran merupakan faktor penting untuk menentukan nilai penting tanah pertanian maupun kehutanan.
Peran ke empat adalah dalam pengendalian aliran (hasil air). Kebanyakan persoalan distribusi sumberdaya air selalu berhubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Akhir-akhir ini kita lebih sering dihadapkan pada suatu keadaan berlebihan air pada musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Sampai saat ini masih dipercayai bahwa hutan yang baik mampu mengendalikan daur air artinya hutan yang baik dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya di musim kemarau. Kepercayaan ini didasarkan atas masih melekatnya dihati masyarakat bukti-bukti bahwa banyak sumber-sumber air dari dalam kawasan hutan yang baik tetap mengalir pada musim kemarau.
Pada kawasan hutan Pinus di Daerah Tangkapan Air Gunung Rahtawu, Kabupaten Wonogiri dengan luasan catchment area dengan luas 101,79 ha dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2900 – 3500 mm/tahun mampu menghasilkan potensi sumberdaya air permukaan sebesar 2..232.000 m3/tahun. Kawasan ini juga mampu menghasilkan debit yang selalu tersedia untuk dimanfaatkan (debit andalan) sebesar 2 – 67 liter/detik. Dari potensi ini saja sebenarnya sudah dapat diprediksi bahwa kawasan hutan Pinus ini mampu mendukung 900 – 2.000 jiwa masyarakat disekitar hutan Pinus yang rata-rata membutuhkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebesar 122 liter/orang/hari (Suryatmojo, H., 2004).
Dari gambaran diatas, nampak jelas bahwa peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan melalui kemampuannya sebagai regulator air memiliki nilai arti yang sangat penting dalam mendukung hajat hidup masyarakat disekitar hutan.
3. Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Siklus karbon global melibatkan transfer karbon dari berbagai reservoir (Tabel 1). Jika dibandingkan dengan sumber karbon yang tidak reaktif, biosfer mengandung karbon yang lebih sedikit, namun demikian siklus yang terjadi sangat dinamik di alam (Vlek, 1997).
Tabel 1. Karbon di dalam berbagai reservoir dari siklus global
Lokasi
Satuan C (ton x 1010)
Udara
CO2-atmosfer
70
Darat
Biomass
59
 
Bahan organik tanah
85
 
Produksi bersih/tahun
6.3
 
Pelepasan dari fosil
0.5
Laut
Biomass
0.3
 
C-organik terlarut
100
 
C-anorganik (HCO3)
3.500
 
Produksi bersih/tahun
45
Sedimen
C-anorganik (HCO3)
2.000.000
 
Batu bara dan minyak
1.000

Sejumlah besar kalsium karbonat dalam lebih dari 10 juta tahun yang lalu telah terlarut dan tercuci dari permukaan daratan. Sebaliknya, dalam jumlah yang sama telah terpresipitasi dari air laut ke dalam lantai dasar laut. Waktu tinggal (residence time) karbon di dalam atmosfer dalam pertukarannya dengan hidrosfer berkisar antara 5 – 10 tahun, sedangkan dalam pertukarannya dengan sel tanaman dan binatang sekitar 300 tahun. Hal ini berbeda dalam skala waktu dibandingkan dengan residence time untuk karbon terlarut (ribuan tahun) dan karbon dalam sedimen dan bahan bakar fosil (jutaan tahun) (Vlek, 1997 dalam Herman Widjaja, 2002).
Dari hasil inventarisasi gas-gas rumah kaca di Indonesia dengan menggunakan metoda IPCC 1996, diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi total CO2 adalah 748,607 Gg (Giga gram), CH4 sebanyak 6,409 Gg, N2O sekitar 61 Gg, NOX sebanyak 928 Gg dan CO sebanyak 11,966 Gg. Adapun penyerapan CO2 oleh hutan kurang lebih sebanyak 364,726 Gg, dengan demikian untuk tahun 1994 tingkat emisi CO2 di Indonesia sudah lebih tinggi dari tingkat penyerapannya. Indonesia sudah menjadi net emitter, sekitar 383,881 Gg pada tahun 1994. Hasil perhitungan sebelumnya, pada tahun 1990, Indonesia masih sebagai net sink atau tingkat penyerapan lebih tinggi dari tingkat emisi. Berapapun kecilnya Indonesia sudah memberikan kontribusi bagi meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca secara global di atmosfer (Widjaja, 2002).
Banyak pihak yang beranggapan bahwa melakukan mitigasi secara permanen melalui penghematan pemanfaatan bahan bakar fosil, teknologi bersih, dan penggunaan energi terbarukan, lebih penting daripada melalui carbon sink. Hal ini dikarenakan hutan hanya menyimpan karbon untuk waktu yang terbatas (stock). Ketika terjadi penebangan hutan, kebakaran atau perubahan tata guna lahan, karbon tersebut akan dilepaskan kembali ke atmosfer (Rusmantoro, 2003).
Carbon sink adalah istilah yang kerap digunakan di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon. Emisi karbon ini umumnya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil pada sektor industri, transportasi dan rumah tangga.
Pada kawasan hutan Pinus di DTA Rahtawu dengan umur tegakan 30 tahun mempunyai potensi penyimpanan karbon sebesar 147,84 ton/ha dengan prosentase penyimpanan terbesar pada bagian batang (73,46%), kemudian cabang (16,14%), kulit (6,99%), daun (3,17%) dan bunga-buah (0,24%). Dari data diatas dapat diprediksi kemampuan hutan pinus dalam menyimpan karbon melalui pendekatan kandungan C-organik dalam biomas memiliki potensi penyimpanan mencapai 44% dari total biomasnya. Sehingga DTA Rahtawu dengan luasan 101,79 ha memiliki potensi penyimpanan karbon dalam tegakan sebesar 15.048,5 ton, penyimpanan karbon dalam seresah sebesar 510 ton dan dalam tumbuhan bawah sebesar 91 ton karbon. (Suryatmojo, H., 2004)
4. Peran Hutan Sebagai Penyedia Sumberdaya Air
Ketergantungan masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan terhadap keberadaan hutan sangat tinggi. Kemampuan hutan sebagai regulator air mampu memberikan kontribusi dalam penyediaan air bagi masyarakat sekitar hutan. Hutan Pinus di DTA Rahtawu memiliki potensi yang cukup besar dalam penyediaan sumberdaya air. Potensi sumberdaya air di DTA Rahtawu dapat didekati dengan mengetahui debit bulanan dan volume aliran bulanan, sedangkan untuk memprediksi debit andalan yang selalu tersedia setiap saat dan dapat dipergunakan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat sekitar didekati dengan pengolahan data sekunder dari hidrograf aliran untuk memperoleh debit minimumnya (debit andalan).
Dari hasil penelitian diperoleh nilai debit andalan yang dapat dipergunakan pada musim kemarau sebesar 1,82 liter/detik yang terjadi pada bulan Agustus dan September, sedangkan pada musim penghujan debit yang dapat dimanfaatkan sebesar 29,82 – 67,55 liter/detik (Suryatmojo, H., 2004). Masyarakat desa Ngambarsari yang terletak di sekitar kawasan hutan pinus membutuhkan air bersih rata-rata/orang/hari adalah 0,0014 liter/detik atau 122 liter/orang/hari. Apabila potensi sumberdaya air tersebut akan dimanfaatkan oleh masyarakat desa Ngambarsari, maka potensi air dari hutan pinus seluas 101,79 ha mampu untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi 900 – 2.000 orang atau 19 – 42% dari jumlah penduduk Desa Ngambarsari yang berjumlah 4.749 orang.
Dari hasil penelitian diatas, nampak bahwa sesungguhnya peran hutan sangat besar dalam menyokong kehidupan manusia, salah satu diantaranya dari kemampuan sebagai regulator air melalui berbagai proses dalam siklus hidrologi yang berlangsung di dalamnya.
5. Penutup
Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang besar memiliki arti dan peran penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global.
Dalam pengelolaan hutan, sudah saatnya didorong untuk mempertimbangkan manfaat, fungsi dan untung-rugi apabila akan dilakukan kegiatan eksploitasi hutan. Berapa banyak nilai dari fungsi yang hilang akibat kegiatan penebangan hutan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai strategis seperti pada kawasan hutan di daerah hulu DAS, sehingga pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan perencanaan dan pengelolaan hutan di Indonesia.
  1. Kesimpulan
Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam mampu menyediakan manfaat lingkungan yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa peredaman terhadap banjir, erosi dan sedimentasi serta jasa pengendalian daur air. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia sumberdaya air bagi manusia dan lingkungan, kemampuan penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global.




















Daftar Pustaka
Dodi Supriadi, 1998. Potensi Peran Akunting Sumberdaya Hutan Dalam Perumusan Kebijaksanaan dan Strategi Manajemen Hutan. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.
Rizaldi, 2003. “Carbon Trading” Membisniskan Hutan Tanpa Merusaknya, Artikel Kompas tanggal 7 Nopember 2003.
Rusmantoro, W., 2003. Hutan Sebagai Penyerap Karbon, Artikel Internet dalam Spektrum Online.
Seyhan, E., 1990. Dasar-dasar Hidrologi (terjemahan Fundamentals of Hydrology oleh Sentot Subagya) Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sri Astuti Soedjoko, Suyono, Darmadi, 1998. Kajian Neraca Air di Hutan Pinus. Makalah Seminar Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan Pembangunan, 23 September 1998, Jakarta.
Suryatmojo, H., 2004. Peran Hutan Pinus Sebagai Penyedia Jasa Lingkungan Melalui Penyimpanan Karbon dan Penyediaan Sumberdaya Air. Hasil Penelitian, Yogyakarta.
Widjaja, H., 2002. Makalah Pengantar Falsafah Sains, Program Pasa Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor

Post a Comment